Seperti hari-hari biasanya, Herman melakukan kegiatan rutinitasnya sebagai tukang parkir di pelataran parkir sebuah ruko yang cukup ramai pengunjungnya. Namun tak seperti biasanya, dia kelihatan tak bersemangat hari ini ia nampak sedang mengalami suatu masalah. Duduk di sebuah bangku panjang dekat pohon rindang, ia mengernyitkan dahi sambil menutup mulut dengan kepalan tangannya seakan masalah yang ia hadapi begitu berat.
"Tin..tin...!" Suara klakson mobil mengejutkan dirinya yang sedang larut dalam lamunan. Langsung ia bangun bergegas mengarahkan mobil yang akan keluar dari parkiran. "Terus..terus pak!" Suara yang sudah tidak asing lagi keluar dari mulut seorang tukang parkir, dengan lantang seolah masalahnya yang ia hadapi telah hilang. Sang pemilik mobil mengeluarkan tangannya dari jendela mobil memberikan empat uang logam recehan lima ratus rupiah kepada Herman. Ya, hanya dua ribu rupiah untuk setiap mobil yang parkir di wilayahnya.
Sesaat setelah mobil itu pergi menjauh, masalah pun kembali mendekati ke dalam pikirannya yang sedang kacau, detak jantung memacu begitu kencang seakan-akan menggoyangkan permukaan tanah yang sedang diinjaknya. Tak lama kemudian datang temannya Alex sambil terengah-engah memberitahukan padanya suatu kabar buruk, bahwa temannya yang bernama Erik sedang dikeroyok oleh anak-anak blok sebelah. Herman pun langsung bergegas beranjak pergi dari pelataran parkir menuju tempat dimana Erik di keroyok.
Sesampainya dia di mana temannya dikeroyok, ia melihat kerumunan warga yang sedang mengelilingi sesosok tubuh yang terbaring lemas yang bersimbah darah sangat banyak di sekujur tubuhnya. Ia pun berlari cepat menerjang siapapun yang menghalangi sambil berteriak-teriak kepada siapapun agar memanggil ambulans dengan segera. Ia memeluk tubuh Erik dan memegang perutnya yang telah ditusuk agar darah tak keluar lebih banyak dari dalam tubuhnya. Herman pun terus memanggil nama temannya itu agar tetap dalam keadaan sadar. Namun apadaya temannya itu hanya dapat menatap ke arah langit dengan bibir yang bergetar seakan-akan ingin mengucapkan sesuatu. Dan pada akhirnya temannya itupun menghembuskan nafas terakhirnya pada saat ambulans sudah tiba.
Herman pun sangat terpukul dengan kepergian sahabatnya itu. Mereka telah bersahabat dari mereka berumur lima tahun, bukan waktu yang singkat untuk sebuah hubungan persahabatan. Dalam suasana berkabung yang sangat dalam ia berdiri tepat di samping makam sahabatnya itu dan menatap nama yang terdapat di batu nisan dengan tajam seolah masih tak percaya bahwa ia telah pergi selamanya dari dunia. Dengan hati yang terbakar ia pun berniat untuk membalaskan dendam kematian sahabatnya itu.
Keesokan harinya tanpa menunggu berlama-lama lagi Herman mengumpulkan seluruh anakbuahnya untuk merencakan aksi pembalasan kepada orang-orang yang telah membunuh Erik, yaitu gank yang sudah menjadi musuh bebuyutan kelompoknya Herman sejak lama. Herman sangat disegani oleh kelompoknya karena kiprahnya di dunia hitam sangat diakui oleh siapa saja yang berteman dengannya.
Sebenarnya dalam lubuk hati yang paling dalam Herman sudah tidak mau lagi melakukan hal-hal konyol yang akan membahayakan diri dan teman-temannya. Dia berniat ingin merubah semua pola hidupnya menjadi orang yang lebih baik di mata masyarakat. Namun kenyataanlah yang memaksa dia untuk tetap berada di dunianya itu. Ia tidak rela jiwa temannya hilang dengan sia-sia begitu saja, sehingga ia harus melakukan balas dendam untuk sahabatnya itu.
Setelah menyusun rencana yang sangat matang, Herman dan teman-temannya pun bersiap-siap untuk melakukan penyerangan terhadap musuh bebuyutannya itu. Dengan di persenjatai dengan banyak parang, clurit, pedang, dan berbagai macam senjata tajam, wajah Herman dan teman-temannya mengganas bagaikan singa yang sedang mengaum kencang.
Tepat di wilayah musuh sudah menunggu puluhan orang yang juga sama mempersentai diri mereka dengan berbagai macam benda tajam. Nampaknya mereka telah mengetahui akan ada penyerangan malam itu. Akhirnya perkelahian pun tak terelakan. Parang dan clurit beterbangan mengayun-ayun di atas kepala, darah memuncrat dari tubuh yang ternyata sangatlah rapuh. Satu persatu orang-orang berjatuhan mengerang kesakitan, menangis meminta tolong, hingga hanya sedikit orang yang masih sanggup berdiri dengan luka-luka yang sangat parah di tubuhnya.
Herman terjatuh dengan kepala bersimbah darah, tangannya sudah tak sanggup lagi memegang pedang yang tadi ia gunakan, ia berusaha berdiri untuk menyelamatkan teman-temannya yang terluka parah. Namun apa daya ia pun tak sanggup bahkan hanya untuk berdiri ia mengerang kesakitan. Ia pun jatuh tersungkur dan pingsan karena kehilangan darah cukup banyak.
Tiga hari kemudian, Herman masih terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan balutan perban di sekujur tubuhnya. Hampir 2 hari ia mengalami koma berjuang dari luka-lukanya yang mencabik-cabik tubuhnya. Dan pada saatnya ia pun tersadar dari tidurnya dan membuka dengan perlahan-lahan matanya seperti kesilauan oleh sinar lampu ruangan kamar yang begitu terang. Saat matanya sudah terbuka lebar ia sudah melihat di sekeliling tempat tidurnya banyak orang, dengan terkaget-keget ia berusaha untuk bangun, namun dokter segera menenangkannya dan menjelaskan bahwa ia sekarang telah berada di rumah sakit. Keluarga satu-satunya yaitu paman dan teman-teman Herman menunggu pada saat herman terbaring di rumah sakit hingga Herman pun tersadar.
Herman pun sudah tenang dan mulai mengenali siapa saja yang berada di sekelilingnya. Ia merasa sangat beruntung masih dapat hidup di dunia ini setelah perkelahian beberapa hari lalu yang dia rasa tidak mungkin satu orang pun bisa selamat dari kejadian itu. Namun sebaliknya, dari balik keberuntungan itu kesedihan yang dialamai Herman semakin berlipat ganda dikarenakan banyak teman-temannya yang tewas pada saat perkelahian itu. Ia sangat menyesal teramat dalam, dendam memang terbalaskan namun harus dibayar pula dengan penyesalan yang lebih dalam. Ditambah kaki kiri dan pergelangan tanggan kanannya harus di amputasi karena lukanya yang terlalu dalam akibat sabetan pedang dari musuhnya. Maka ia pun merasa sungguh sangat bodoh dan konyol dengan apa yang telah ia lakukan.
Setelah beberapa minggu kemudian Herman pun sudah dalam keadaan yang lebih baik. Ia sekarang tinggal di sebuah yayasan yang menampung orang-orang yang kekurangan fisik sehingga ia pun dapat mengisi hari-harinya bersama teman-teman yang sama dengan nasibnya.
Dalam perenungannya ia selalu ingin menjadi orang yang lebih berguna untuk di sekitarnya dan menebus semua kesalahan-kesalahannya dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain dan dirinya.
Andai waktu bisa terulang kembali ke masa lalu....aku pasti akan...................................